Opsi kebijakan menjawab separoh problema kehutanan Indonesia

Separoh problem kehutanan Indonesia adalah terkait alokasi luas kawasan hutan karena melibatkan banyak aktor dan kepentingan. Luas hutan Indonesia saat ini relatif tidak berubah sejak satu dekade terakhir, 124 juta ha atau 130 juta ha jika termasuk kawasan perairan (Statistik Kehutanan Indonesia, 2013). Luas hutan yang menjadi domain negara itu setara dengan 66% dari daratan Indonesia. Sampai tahun 2013, hanya 71% luas kawasan hutan negara yang berhutan, dalam bentuk hutan primer, hutan sekunder dan sedikit hutan tanaman. Terdapat 29% kawasan hutan negara yang dikategorikan tak berhutan atau sekitar 26 juta ha merupakan lahan kritis atau sangat kritis akibat penebangan liar, pembalakan legal yang tidak bertanggung jawab, perladangann, bekas tambang, dan kegiatan ekonomi lainnya atas nama pembangunan dan pertumbuhan penduduk yang telah berlangsung berpuluh-puluh tahun. Angka deforestasi akibat konversi menjadi lahan pertanian, pemukiman transmigrasi, ijin pertambangan dan pinjam pakai lainnya, tercatat 0.6 juta ha/tahun selama kurun 5 tahun terakhir, jauh menurun dibanding tahun 2000an sebesar 2.8 juta ha/tahun. Sebanyak 10 provinsi yang tersebar di pulau Sumatera dan Jawa masuk kategori memilukan karena mempunyai luas tutupan hutann di bawah 30% dari luas provinsi.

Di lapangan, penguasa Manggala Wanabhakti (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, KLHK) bukanlah pihak yang paling berkuasa atas setiap jengkal kawasan hutannya, meskipun di atas kertas kewenanganya jauh lebih perkasa dibanding lembaga pemerintah lainya seperti Kementerian ATR, Pertanian, dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten. Sebanyak 29% kawasan hutan yang tak berhutan dan hampir tak pernah berkurang selama puluhan tahun itu menunjukkan adanya penguasa lain yang ikut menentukan nasib kawasan hutan. Sudah menjadi rahasia umum jika banyak orang terkaya di negeri ini berbisnis di sektor berbasis lahan (Sawit, HTI, tambang, dan logging). Mereka mengambil rente dari rantai perdagangan kayu dan penguasaan lahan hutan yang saat ini dipegang ijinya oleh 274 perusahaaan kehutanan seluas 20 juta ha. Penguasa daerah sering membagi-bagikan lahan hutan menjelang pemilihan kepala daerah dan sudah lazim memicu konflik horizontal antara kelompok masyarakat dan kehutanan. Kebakaran hutan hebat hanyalah akibat dari perilaku alam yang diperparah oleh perilaku aktor-aktor di berbagai level itu.

Saat ini dengan gagasan nawacitanya, sebanyak 12.7 juta ha atau 10% dari kawasan hutan akan dibebankan pengelolaannya kepada masyarakat setempat dalam bentuk hutan tanaman rakyat, hutan kemasyarakatan, hutan desa, dan hutan adat. Termasuk di dalamnya sebanyak 4 juta ha akan direformaagrariakan. Masyarakat setempat yang turun temurun hidup bergantung pada hutan menuntut diakuinya hutan adat (-dan telah diakui oleh Mahkamah Konstitusi) yang selama ini diklaim (-sebagian orang mengatakan “dirambah”) oleh negara dan sebagian diberikan ijin pengelolaannya kepada perusahaan hutan (land grabbing). Dengan meningkatnya harga komoditas pertanian non pangan seperti karet, sawit, kopi, banyak pengusaha hutan yang tertarik mengkonversi hutan menjadi perkebunan skala besar dengan melibatkan aktor lokal melalui lobi perubahan tata ruang wilayah pada tingkat kabupaten maupun provinsi. Sebagian masyarakat setempat juga tergiur dengan kesempatan ini dan mengkonversi ladang pribadinya yang awalnya merupakan kebun agroforestry menjadi bagian dari rantai ekonomi pasar global itu.

Wadah dan Isi

UU 41/99 tentang kehutanan mengisyaratkan batasan 30% luas kawasan hutan dari luas daerah aliran sungai atau pulau dengan sebaran yang proporsional harus dipertahankan. Pulau Sumatera dan Jawa tidak lagi memenuhi kriteria ini. Misalnya Sumatera Selatan dan Lampung hanya mempunyai tutupan hutan kurang dari 15%. Bisa saja para penguasa lokal di Sumatera bergumam: “…toh secara kepulauan, tutupan hutan pulau Sumatera masih sedikit di atas 30%!” Aturan 30% ini perlu diperketat tetapi harus tetap realistis.

Ada dua pertanyaan besar yang tidak mudah dijawab. Pertama, seberapa besar atau seberapa luas sebenarnya ‘wadah’ hutan Indonesia yang harus dipertahankan? Kedua, bagaimana membuat isi dalam wadah itu penuh? Tiga opsi mungkin bermanfaat untuk membantu pemerintah dan publik mendiskusikan masalah wadah ini. Masing-masing opsi mempunyai konsekuensi yang berbeda-beda.

Opsi 1: Mempertahankan 66% luas kawasan hutan negara dengan resiko hanya 71% kawasan tersebut yang berhutan. Opsi ini menghasilkan luas tutupan hutan sebesar 47% (0.66*0.71) dari luas daratan Indonesia. Konsekuensi dari opsi ini adalah bussiness as usual: jika rusak dan kritis direhabilitasi, dilakukan patroli rutin, dan penegakan hukum diperketat. Kendala utama adalah keterbatasan anggaran, sumber daya dan ketidakpastian hukum.

Opsi 2: Mempertahankan 66% luas kawasan hutan negara dengan resiko hanya 71% kawasan tersebut yang berhutan, sedangkan yang 29% diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat setempat untuk fungsi kehutanan sosial tanpa mengubah status kawasan hutan negara, kecuali pada hutan adat yang telah ditetapkan oleh MK sebagai bukan kawasan hutan negara. Opsi ini menghasilkan luas tutupan hutan setidaknya tetap 47% (0.66*0.71). Kawasan hutan yang dikelola masyarakat setempat akan mempunyai tutupan hutan yang dinamis tetapi mungkin lebih terbuka, bergantung pada pola-pola penggunaan lahan menurut masyarakat setempat. Opsi ini membutuhkan pemetaan wilayah yang akurat dan monitoring yang ketat dan proses panjang yang terkawal.

Opsi 3: Mempertahankan kawasan hutan negara yang telah clean dan secure tetapi tidak boleh kurang dari 40% dari luas daratan Indonesia. Sisanya sebesar 26% dapat dilepaskan secara bertahap kepada aktor, sektor, atau fungsi lain dengan proses yang ketat dan harus ada jaminan luas tutupan hutan pada kawasan hutan yang 40% tersebut dalam kondisi full-stock (>90% merupakan tutupan hutan) atau dapat diperbaiki menuju full-stock. Angka luas ini sebaiknya mengikuti wilayah administrasi bukan DAS atau kepulauan (kecuali pulau kecil), agar tanggung jawab pemerintah daerah lebih jelas dan terukur. Di dalam kawasan hutan negara yang 40%, fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial juga tetap dipertahankan. Opsi ini juga membutuhkan pemetaan wilayah yang akurat dan monitoring yang ketat dan proses panjang yang terkawal.

Di tengah-tengah upaya mencari ukuran ‘wadah’ yang pantas, berbagai inovasi kehutanan sebenarnya membuka secercah harapan untuk mewujudkan kondisi hutan yang full-stock. Misalnya penemuan silvikultur intensif hutan meranti di Kalimantan dan rakayasa genetika untuk menghasilkan klon tanaman hutan yang unggul misalnya hutan tanaman jati di Jawa. Fakultas Kehutanan UGM sangat berperan dalam inovasi ini. Peningkatan stock hutan produksi adalah langkah kunci jika kehutanan ingin kembali menjadi arus utama pembangunan ekonomi Indonesia seperti dasar warsa 1970 – 1990. Bukan hanya itu, hutan yang full-stock berarti hutan yang berisi biodiversitas sebagai habitat flora dan fauna. Inovasi ini masih terhambat karena tidak semua pengusaha hutan tertarik untuk menginvestasikan keuntunganya kembali ke hutan. Pemerintah seharusnya berperan dalam memberikan insentif untuk memenuhi isi hutan menjadi full-stock. Pemanfaatan dana reboisasi (DR) yang merupakan bagian milik hutan alam yang disisihkan US$12 – 18 per meter kubik kayu alam dan pernah mencapai angka US$5 milyar, sudah seharusnya dikembalikan untuk pembangunan hutan alam khas Indonesia (Warsito, 2011).

Semakin dalam kita memasuki dunia kehutanan, memang semakin rumit dan komplek masalah yang merundunginya, sayangnya semakin melemah kapasitas penangananya. Oleh karena itu, Kementerian LHK perlu merumuskan strategi besar yang lebih terukur dan berani dalam menuntaskan masalah berapa besar kawasan hutan nasional yang harus dialokasikan. Fokus pada penyelesaian masalah alokasi ‘wadah’ ini sebenarnya bisa menjawab setidaknya separoh dari masalah kehutanan Indonesia. Sisanya berkaitan denga ‘isi’ dan ‘bisnis’ produk kehutanan.

Selamat hari bakti rimbawan, hari bumi, hari hutan internasional dan hari air…!

Published in: Tak Berkategori on 25 March 2016 at6:52 am Comments Off on Opsi kebijakan menjawab separoh problema kehutanan Indonesia

Halo dunia!

Welcome to Website Staff Universitas Gadjah Mada. This is your first post. Edit or delete it, then start blogging!

Published in: Tak Berkategori on 24 March 2016 at5:46 pm Comments Off on Halo dunia!